Kalimat yang mungkin tak asing bagi orang jawa pada umumnya.
Khususnya bagi orang jawa yang memegang erat budaya ketimurannya.
Kalimat yang tersusun dari 3 kata tersebut begitu mudah kita ucapkan,
kita dengar dan kita tulis. Namun tak cukup 3 langkah saja untuk dapat
kita terapkan dalam kehidupan.
“
Nrimo ing Pandum” memiliki arti “menerima dengan pemberian”
dalam kajian yang lebih luas bisa juga berarti ikhlas atas apa yang
kita terima dalam kehidupan atau “
legowo” dalam menghadapi setiap lika-liku dalam hidup. Pengaplikasian dalam kehidupan sosial “
nrimo ing pandum”
bisa berarti bermurah hati dengan sesama, dalam ekonomi dapat pula
dikatakan sebagai rasa cukup dengan kekayaan yang dimiliki, dan masih
bisa lebih luas lagi “
nrimo ing pandum” dapat diaplikasikan.
Nrimo yang berarti menerima dengan segala sesuatu pemberian
baik dari sesama manusia ataupun dari Yang Maha Kuasa, baik berupa hal
baik maupun hal buruk, bahkan kurang ataupun lebih. Bagi sesepuh jaman
dulu mungkin seperti kakek/nenek kita atau buyut-buyut kita “
nrimo ing pandum” digunakan sebagai
notice dalam menjalani ujian kehidupan. Mungkin banyak dari kita berpikir bahwa ujian hidup itu hal yang menyedihkan, menyusahkan,
bikin bete
kata anak muda jaman sekarang. Perlu kita ingat bahwa ujian bisa saja
berupa kelebihan yang kita miliki. Kelebihan yang kita miliki atau kita
terima tersebut dalam kajian
nrimo memesankan kepada kita agar
selalu bersyukur dan berendah hati dengan apa yang sudah kita miliki.
Sebaliknya dalam kekurangan yang kita hadapi
nrimo mengajarkan kita agar selalu bersabar dan tabah dalam kekurangan maupun kesulitan yang ada.
Apakah itu masih mudah seperti yang kita dengar???
Pelajaran bagi kita yang masih berharap memiliki hidup lebih baik lagi.
Nrimo ing pandum mengajarkan kita “Ojo Dumeh” (akan dibahas nanti di pertemuan lain waktu) yang berarti “jangan mentang-mentang”.
“Ojo dumeh sugih lali mlarat e”
“Ojo dumeh sehat lali lara ne”
“Ojo dumeh enom lali tuo ne”
“Ojo dumeh seneng lali susah e”
Ojo dumeh urip lali mati ne”
Dari 1 kalimat sederhana memunculkan 5
kalimat berikutnya yang mungkin lebih akrab disebut “5 sebelum 5”.
Marilah terus belajar, terus mawas diri, dan saling mengingatkan untuk
menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi, belajar dari semua yang kita
hadapi, dan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin.
Belajar Filosofi
"Nrimo" dari Masyarakat Jawa
23 Mei 2012 08:42:47 Diperbarui: 25 Juni 2015 04:55:59 Dibaca : 4,960
Komentar : 3 Nilai : 1
"Uripe ayem rumongso aman, dununge roso tondo yen iman, sabar nrimo
najan pas-pasan, kabeh tinakdir saking Pangeran…“
Sepenggal lirik puji-pujian tersebut terasa begitu syahdu terdengar di
penghujung sore waktu itu. Suara merdu sang penandung yang dipertegas
dengan alat pengeras suara masjid seakan mengajak setiap orang yang
mendengarnya untuk berdamai dengan hati mereka. Betapa tidak kata-kata
sederhana yang juga membentuk kalimat-kalimat sederhana terasa begitu
sarat makna dan mengena.
Filosofi “nrimo ing pandum” begitu kental terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, setidaknya itulah yang saya lihat selamat 4
tahun bergaul dan hidup bersama membaur bersama mereka selama menempuh
study di Kampus Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Perjalanan saya
ke bebrapa daerah di Jawa Tengah dan pengalaman KKN di salah satu desa
terpencil di Wonosobo semakin mempertegas dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, masyarakat Jawa berpegang teguh ada pedoman-pedoman hidup
tidak tertulis dan kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu.
Nilai postif dari filosofi tersebut benar-benar diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks filosofi lokal “nrimo ing pandum”,
saya jarang mendengar keluhan ataupun sedu sedan meskipun kehidupan
mereka sarat dengan kemiskinan dan kesusahan. Kesederhaanan cara hidup
juga sangat terlihat meskipun sebenarnya ada sebagain masyarakat yang
mampu mengikuti cara hidup orang-orang di kota, namun saya sama sekali
tidak melihat hal-hal berbau keduniawian yang berlebihan yang dengan
mudah kite temukan di kehidupan modern seperti sekarang ini.
Awalnya saya tak habis pikir bagaimana mungkin di jaman yang
individualis dan segala sesuatu selalu dinilai dengan uang, masih saja
ada orang yang dengan tulusnya mau menolong dan saling berbagi, masih
saja ada orang yang mau mengabdikan dirinya di Kraton bekerja siang
malam untuk Sang Raja, hanya dibayar seadanya dan jauh dari kata cukup.
Perjalanan saya beberapa waktu yang lalu ke Keraton Jogja menunjukkan
betapa setiap abdi dalem keraton begitu tulus dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja bahkan terlihat ada rona kebahagian di wajah-wajah mereka.
Sekali lagi saya benar-benar tidak habis pikir.
Pernah suatu ketika saya benar-benar merasa menyesal karena telah
menawar sepasang sepatu dengan harga yang terlalu murah di Pasar Johar
Semarang. Pedagang baik hati tersebut adalah seorang bapak berusia senja
yang dengan senang hati menerima penawaran saya. Awalnya saya merasa
senang karena trik dengan mengatasnamakan mahasiswa yang uangnya
pas-pasan dan masih dikirimi dari orang tua berhasil meluluhkan hati Pak
Tua tersebut. Namun akhirnya saya merasa malu sendiri ketika Pak Tua
tersebut mengatakan dapat memahami keadaan saya karena Pak Tua tersebut
juga memiliki anak yang masih kuliah. Pak tua tersebut kemudian
bercerita bagaimana hatinya merasa sangat sedih ketika tidak mampu
memberi sangu yang pantas untuk menunjang kehidupan anaknya selama
menempuh study. Bapak tersebut sadar bahwa uang yang dikirim setiap
bulannya jauh dari kata cukup. Guratan di wajah bapak tersebut seolah
mengatakan meskipun dia telah bekerja keras namun hasilnya selalu kurang
untuk membiayai kuliah sang anak. Namun demikian Pak Tua itu tidak
pernah mengeluh, meskipun hasilnya tak seberap bapak tersebut tetap
setia dengan profesinya dan bekerja sepenuh hati menjual sepatu di salah
satu sudut Pasar Johar Semarang. Saya benar-benar kagum dan merasa
menyesal mendengar cerita bapak tersebut, meskipun dalam keadaan sulit
,beliau masih saja mau berbagi kebaikan pada saya waktu itu. Bapak
tersebut kemudian melanjutkan ceritanya betapa dia merasa
“penerimaan”-nya akan garis kehidupan yang telah di tetapkan Sang
Pencipta dan usahanya adalah sebagai bentuk kesyukuran atas segala
"nikmat" yang ia dan keluarga peroleh selama ini. Kerja keras tersebut
tidak sia-sia karena merasa Sang Khaliq telah membalas kerja kerasnya
dengan prestasi-prestasi anaknya selama ini.
Berkaca pada sepenggal kisah kehidupan diatas, saya mengambil kesimpulan
bahwa filosofi “nrimo ing pangdum” mengandung arti ”penerimaan”
seseorang dengan ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” di sini menurut
saya adalah bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada
nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah
dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti
hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur
senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang
Pencipta. Filosofi ini menurut saya akan mengajarkan seseorang untuk
dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang
selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik
hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Menurut saya, itu adalah simbol
optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan.
Pengalaman hidup 4 tahun belakangan ini benar-benar telah merubah cara
berfikir saya. Saya begitu banyak belajar tentang kehidupan dan cara
dalam memandang kehidupan. Masyarakat Jawa dalam memandang filosofi
nenek moyang mereka adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan sesuatu
yang harus di internalisaikan ke dalam diri dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Hipotesis saya selama ini yang menganggap uang
dan materi adalah sumber kebahagian serta merta tertolak oleh filosofi
tersebut. Kebahagian sejati adalah disaat uripe ayem rumongso aman
karena penerimaan akan kehendak Illahi Robbi sebagai tanda Iman dan
Keyakinan pada-Nya
Jadi teringat pesan terakhir Pak Tua penjual sepatu itu begitu
mendamaikan dan menentramkan hati..”le…nrimo ing pandum, Rezeki sudah
ada yang mengatur, Gusti Allah tidak pernah tidur, kalau kita mau pasti
ada jalan, yang penting bukan apa yang kita kerjakan tapi niat kita
bekerja adalah untuk bersyukur dan juga beribadah (dalam bahasa Jawa).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wahyu.sitepoe/belajar-filosofi-nrimo-dari-masyarakat-jawa_5510aa2c813311ae33bc6d30
Belajar Filosofi
"Nrimo" dari Masyarakat Jawa
23 Mei 2012 08:42:47 Diperbarui: 25 Juni 2015 04:55:59 Dibaca : 4,960
Komentar : 3 Nilai : 1
"Uripe ayem rumongso aman, dununge roso tondo yen iman, sabar nrimo
najan pas-pasan, kabeh tinakdir saking Pangeran…“
Sepenggal lirik puji-pujian tersebut terasa begitu syahdu terdengar di
penghujung sore waktu itu. Suara merdu sang penandung yang dipertegas
dengan alat pengeras suara masjid seakan mengajak setiap orang yang
mendengarnya untuk berdamai dengan hati mereka. Betapa tidak kata-kata
sederhana yang juga membentuk kalimat-kalimat sederhana terasa begitu
sarat makna dan mengena.
Filosofi “nrimo ing pandum” begitu kental terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, setidaknya itulah yang saya lihat selamat 4
tahun bergaul dan hidup bersama membaur bersama mereka selama menempuh
study di Kampus Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Perjalanan saya
ke bebrapa daerah di Jawa Tengah dan pengalaman KKN di salah satu desa
terpencil di Wonosobo semakin mempertegas dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, masyarakat Jawa berpegang teguh ada pedoman-pedoman hidup
tidak tertulis dan kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu.
Nilai postif dari filosofi tersebut benar-benar diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks filosofi lokal “nrimo ing pandum”,
saya jarang mendengar keluhan ataupun sedu sedan meskipun kehidupan
mereka sarat dengan kemiskinan dan kesusahan. Kesederhaanan cara hidup
juga sangat terlihat meskipun sebenarnya ada sebagain masyarakat yang
mampu mengikuti cara hidup orang-orang di kota, namun saya sama sekali
tidak melihat hal-hal berbau keduniawian yang berlebihan yang dengan
mudah kite temukan di kehidupan modern seperti sekarang ini.
Awalnya saya tak habis pikir bagaimana mungkin di jaman yang
individualis dan segala sesuatu selalu dinilai dengan uang, masih saja
ada orang yang dengan tulusnya mau menolong dan saling berbagi, masih
saja ada orang yang mau mengabdikan dirinya di Kraton bekerja siang
malam untuk Sang Raja, hanya dibayar seadanya dan jauh dari kata cukup.
Perjalanan saya beberapa waktu yang lalu ke Keraton Jogja menunjukkan
betapa setiap abdi dalem keraton begitu tulus dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja bahkan terlihat ada rona kebahagian di wajah-wajah mereka.
Sekali lagi saya benar-benar tidak habis pikir.
Pernah suatu ketika saya benar-benar merasa menyesal karena telah
menawar sepasang sepatu dengan harga yang terlalu murah di Pasar Johar
Semarang. Pedagang baik hati tersebut adalah seorang bapak berusia senja
yang dengan senang hati menerima penawaran saya. Awalnya saya merasa
senang karena trik dengan mengatasnamakan mahasiswa yang uangnya
pas-pasan dan masih dikirimi dari orang tua berhasil meluluhkan hati Pak
Tua tersebut. Namun akhirnya saya merasa malu sendiri ketika Pak Tua
tersebut mengatakan dapat memahami keadaan saya karena Pak Tua tersebut
juga memiliki anak yang masih kuliah. Pak tua tersebut kemudian
bercerita bagaimana hatinya merasa sangat sedih ketika tidak mampu
memberi sangu yang pantas untuk menunjang kehidupan anaknya selama
menempuh study. Bapak tersebut sadar bahwa uang yang dikirim setiap
bulannya jauh dari kata cukup. Guratan di wajah bapak tersebut seolah
mengatakan meskipun dia telah bekerja keras namun hasilnya selalu kurang
untuk membiayai kuliah sang anak. Namun demikian Pak Tua itu tidak
pernah mengeluh, meskipun hasilnya tak seberap bapak tersebut tetap
setia dengan profesinya dan bekerja sepenuh hati menjual sepatu di salah
satu sudut Pasar Johar Semarang. Saya benar-benar kagum dan merasa
menyesal mendengar cerita bapak tersebut, meskipun dalam keadaan sulit
,beliau masih saja mau berbagi kebaikan pada saya waktu itu. Bapak
tersebut kemudian melanjutkan ceritanya betapa dia merasa
“penerimaan”-nya akan garis kehidupan yang telah di tetapkan Sang
Pencipta dan usahanya adalah sebagai bentuk kesyukuran atas segala
"nikmat" yang ia dan keluarga peroleh selama ini. Kerja keras tersebut
tidak sia-sia karena merasa Sang Khaliq telah membalas kerja kerasnya
dengan prestasi-prestasi anaknya selama ini.
Berkaca pada sepenggal kisah kehidupan diatas, saya mengambil kesimpulan
bahwa filosofi “nrimo ing pangdum” mengandung arti ”penerimaan”
seseorang dengan ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” di sini menurut
saya adalah bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada
nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah
dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti
hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur
senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang
Pencipta. Filosofi ini menurut saya akan mengajarkan seseorang untuk
dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang
selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik
hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Menurut saya, itu adalah simbol
optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan.
Pengalaman hidup 4 tahun belakangan ini benar-benar telah merubah cara
berfikir saya. Saya begitu banyak belajar tentang kehidupan dan cara
dalam memandang kehidupan. Masyarakat Jawa dalam memandang filosofi
nenek moyang mereka adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan sesuatu
yang harus di internalisaikan ke dalam diri dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Hipotesis saya selama ini yang menganggap uang
dan materi adalah sumber kebahagian serta merta tertolak oleh filosofi
tersebut. Kebahagian sejati adalah disaat uripe ayem rumongso aman
karena penerimaan akan kehendak Illahi Robbi sebagai tanda Iman dan
Keyakinan pada-Nya
Jadi teringat pesan terakhir Pak Tua penjual sepatu itu begitu
mendamaikan dan menentramkan hati..”le…nrimo ing pandum, Rezeki sudah
ada yang mengatur, Gusti Allah tidak pernah tidur, kalau kita mau pasti
ada jalan, yang penting bukan apa yang kita kerjakan tapi niat kita
bekerja adalah untuk bersyukur dan juga beribadah (dalam bahasa Jawa).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wahyu.sitepoe/belajar-filosofi-nrimo-dari-masyarakat-jawa_5510aa2c813311ae33bc6d30
Belajar Filosofi
"Nrimo" dari Masyarakat Jawa
23 Mei 2012 08:42:47 Diperbarui: 25 Juni 2015 04:55:59 Dibaca : 4,960
Komentar : 3 Nilai : 1
"Uripe ayem rumongso aman, dununge roso tondo yen iman, sabar nrimo
najan pas-pasan, kabeh tinakdir saking Pangeran…“
Sepenggal lirik puji-pujian tersebut terasa begitu syahdu terdengar di
penghujung sore waktu itu. Suara merdu sang penandung yang dipertegas
dengan alat pengeras suara masjid seakan mengajak setiap orang yang
mendengarnya untuk berdamai dengan hati mereka. Betapa tidak kata-kata
sederhana yang juga membentuk kalimat-kalimat sederhana terasa begitu
sarat makna dan mengena.
Filosofi “nrimo ing pandum” begitu kental terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, setidaknya itulah yang saya lihat selamat 4
tahun bergaul dan hidup bersama membaur bersama mereka selama menempuh
study di Kampus Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Perjalanan saya
ke bebrapa daerah di Jawa Tengah dan pengalaman KKN di salah satu desa
terpencil di Wonosobo semakin mempertegas dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, masyarakat Jawa berpegang teguh ada pedoman-pedoman hidup
tidak tertulis dan kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu.
Nilai postif dari filosofi tersebut benar-benar diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks filosofi lokal “nrimo ing pandum”,
saya jarang mendengar keluhan ataupun sedu sedan meskipun kehidupan
mereka sarat dengan kemiskinan dan kesusahan. Kesederhaanan cara hidup
juga sangat terlihat meskipun sebenarnya ada sebagain masyarakat yang
mampu mengikuti cara hidup orang-orang di kota, namun saya sama sekali
tidak melihat hal-hal berbau keduniawian yang berlebihan yang dengan
mudah kite temukan di kehidupan modern seperti sekarang ini.
Awalnya saya tak habis pikir bagaimana mungkin di jaman yang
individualis dan segala sesuatu selalu dinilai dengan uang, masih saja
ada orang yang dengan tulusnya mau menolong dan saling berbagi, masih
saja ada orang yang mau mengabdikan dirinya di Kraton bekerja siang
malam untuk Sang Raja, hanya dibayar seadanya dan jauh dari kata cukup.
Perjalanan saya beberapa waktu yang lalu ke Keraton Jogja menunjukkan
betapa setiap abdi dalem keraton begitu tulus dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja bahkan terlihat ada rona kebahagian di wajah-wajah mereka.
Sekali lagi saya benar-benar tidak habis pikir.
Pernah suatu ketika saya benar-benar merasa menyesal karena telah
menawar sepasang sepatu dengan harga yang terlalu murah di Pasar Johar
Semarang. Pedagang baik hati tersebut adalah seorang bapak berusia senja
yang dengan senang hati menerima penawaran saya. Awalnya saya merasa
senang karena trik dengan mengatasnamakan mahasiswa yang uangnya
pas-pasan dan masih dikirimi dari orang tua berhasil meluluhkan hati Pak
Tua tersebut. Namun akhirnya saya merasa malu sendiri ketika Pak Tua
tersebut mengatakan dapat memahami keadaan saya karena Pak Tua tersebut
juga memiliki anak yang masih kuliah. Pak tua tersebut kemudian
bercerita bagaimana hatinya merasa sangat sedih ketika tidak mampu
memberi sangu yang pantas untuk menunjang kehidupan anaknya selama
menempuh study. Bapak tersebut sadar bahwa uang yang dikirim setiap
bulannya jauh dari kata cukup. Guratan di wajah bapak tersebut seolah
mengatakan meskipun dia telah bekerja keras namun hasilnya selalu kurang
untuk membiayai kuliah sang anak. Namun demikian Pak Tua itu tidak
pernah mengeluh, meskipun hasilnya tak seberap bapak tersebut tetap
setia dengan profesinya dan bekerja sepenuh hati menjual sepatu di salah
satu sudut Pasar Johar Semarang. Saya benar-benar kagum dan merasa
menyesal mendengar cerita bapak tersebut, meskipun dalam keadaan sulit
,beliau masih saja mau berbagi kebaikan pada saya waktu itu. Bapak
tersebut kemudian melanjutkan ceritanya betapa dia merasa
“penerimaan”-nya akan garis kehidupan yang telah di tetapkan Sang
Pencipta dan usahanya adalah sebagai bentuk kesyukuran atas segala
"nikmat" yang ia dan keluarga peroleh selama ini. Kerja keras tersebut
tidak sia-sia karena merasa Sang Khaliq telah membalas kerja kerasnya
dengan prestasi-prestasi anaknya selama ini.
Berkaca pada sepenggal kisah kehidupan diatas, saya mengambil kesimpulan
bahwa filosofi “nrimo ing pangdum” mengandung arti ”penerimaan”
seseorang dengan ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” di sini menurut
saya adalah bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada
nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah
dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti
hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur
senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang
Pencipta. Filosofi ini menurut saya akan mengajarkan seseorang untuk
dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang
selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik
hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Menurut saya, itu adalah simbol
optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan.
Pengalaman hidup 4 tahun belakangan ini benar-benar telah merubah cara
berfikir saya. Saya begitu banyak belajar tentang kehidupan dan cara
dalam memandang kehidupan. Masyarakat Jawa dalam memandang filosofi
nenek moyang mereka adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan sesuatu
yang harus di internalisaikan ke dalam diri dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Hipotesis saya selama ini yang menganggap uang
dan materi adalah sumber kebahagian serta merta tertolak oleh filosofi
tersebut. Kebahagian sejati adalah disaat uripe ayem rumongso aman
karena penerimaan akan kehendak Illahi Robbi sebagai tanda Iman dan
Keyakinan pada-Nya
Jadi teringat pesan terakhir Pak Tua penjual sepatu itu begitu
mendamaikan dan menentramkan hati..”le…nrimo ing pandum, Rezeki sudah
ada yang mengatur, Gusti Allah tidak pernah tidur, kalau kita mau pasti
ada jalan, yang penting bukan apa yang kita kerjakan tapi niat kita
bekerja adalah untuk bersyukur dan juga beribadah (dalam bahasa Jawa).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wahyu.sitepoe/belajar-filosofi-nrimo-dari-masyarakat-jawa_5510aa2c813311ae33bc6d30
Belajar Filosofi
"Nrimo" dari Masyarakat Jawa
23 Mei 2012 08:42:47 Diperbarui: 25 Juni 2015 04:55:59 Dibaca : 4,960
Komentar : 3 Nilai : 1
"Uripe ayem rumongso aman, dununge roso tondo yen iman, sabar nrimo
najan pas-pasan, kabeh tinakdir saking Pangeran…“
Sepenggal lirik puji-pujian tersebut terasa begitu syahdu terdengar di
penghujung sore waktu itu. Suara merdu sang penandung yang dipertegas
dengan alat pengeras suara masjid seakan mengajak setiap orang yang
mendengarnya untuk berdamai dengan hati mereka. Betapa tidak kata-kata
sederhana yang juga membentuk kalimat-kalimat sederhana terasa begitu
sarat makna dan mengena.
Filosofi “nrimo ing pandum” begitu kental terlihat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, setidaknya itulah yang saya lihat selamat 4
tahun bergaul dan hidup bersama membaur bersama mereka selama menempuh
study di Kampus Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Perjalanan saya
ke bebrapa daerah di Jawa Tengah dan pengalaman KKN di salah satu desa
terpencil di Wonosobo semakin mempertegas dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, masyarakat Jawa berpegang teguh ada pedoman-pedoman hidup
tidak tertulis dan kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu.
Nilai postif dari filosofi tersebut benar-benar diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks filosofi lokal “nrimo ing pandum”,
saya jarang mendengar keluhan ataupun sedu sedan meskipun kehidupan
mereka sarat dengan kemiskinan dan kesusahan. Kesederhaanan cara hidup
juga sangat terlihat meskipun sebenarnya ada sebagain masyarakat yang
mampu mengikuti cara hidup orang-orang di kota, namun saya sama sekali
tidak melihat hal-hal berbau keduniawian yang berlebihan yang dengan
mudah kite temukan di kehidupan modern seperti sekarang ini.
Awalnya saya tak habis pikir bagaimana mungkin di jaman yang
individualis dan segala sesuatu selalu dinilai dengan uang, masih saja
ada orang yang dengan tulusnya mau menolong dan saling berbagi, masih
saja ada orang yang mau mengabdikan dirinya di Kraton bekerja siang
malam untuk Sang Raja, hanya dibayar seadanya dan jauh dari kata cukup.
Perjalanan saya beberapa waktu yang lalu ke Keraton Jogja menunjukkan
betapa setiap abdi dalem keraton begitu tulus dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja bahkan terlihat ada rona kebahagian di wajah-wajah mereka.
Sekali lagi saya benar-benar tidak habis pikir.
Pernah suatu ketika saya benar-benar merasa menyesal karena telah
menawar sepasang sepatu dengan harga yang terlalu murah di Pasar Johar
Semarang. Pedagang baik hati tersebut adalah seorang bapak berusia senja
yang dengan senang hati menerima penawaran saya. Awalnya saya merasa
senang karena trik dengan mengatasnamakan mahasiswa yang uangnya
pas-pasan dan masih dikirimi dari orang tua berhasil meluluhkan hati Pak
Tua tersebut. Namun akhirnya saya merasa malu sendiri ketika Pak Tua
tersebut mengatakan dapat memahami keadaan saya karena Pak Tua tersebut
juga memiliki anak yang masih kuliah. Pak tua tersebut kemudian
bercerita bagaimana hatinya merasa sangat sedih ketika tidak mampu
memberi sangu yang pantas untuk menunjang kehidupan anaknya selama
menempuh study. Bapak tersebut sadar bahwa uang yang dikirim setiap
bulannya jauh dari kata cukup. Guratan di wajah bapak tersebut seolah
mengatakan meskipun dia telah bekerja keras namun hasilnya selalu kurang
untuk membiayai kuliah sang anak. Namun demikian Pak Tua itu tidak
pernah mengeluh, meskipun hasilnya tak seberap bapak tersebut tetap
setia dengan profesinya dan bekerja sepenuh hati menjual sepatu di salah
satu sudut Pasar Johar Semarang. Saya benar-benar kagum dan merasa
menyesal mendengar cerita bapak tersebut, meskipun dalam keadaan sulit
,beliau masih saja mau berbagi kebaikan pada saya waktu itu. Bapak
tersebut kemudian melanjutkan ceritanya betapa dia merasa
“penerimaan”-nya akan garis kehidupan yang telah di tetapkan Sang
Pencipta dan usahanya adalah sebagai bentuk kesyukuran atas segala
"nikmat" yang ia dan keluarga peroleh selama ini. Kerja keras tersebut
tidak sia-sia karena merasa Sang Khaliq telah membalas kerja kerasnya
dengan prestasi-prestasi anaknya selama ini.
Berkaca pada sepenggal kisah kehidupan diatas, saya mengambil kesimpulan
bahwa filosofi “nrimo ing pangdum” mengandung arti ”penerimaan”
seseorang dengan ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” di sini menurut
saya adalah bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada
nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah
dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti
hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur
senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang
Pencipta. Filosofi ini menurut saya akan mengajarkan seseorang untuk
dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang
selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik
hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Menurut saya, itu adalah simbol
optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan.
Pengalaman hidup 4 tahun belakangan ini benar-benar telah merubah cara
berfikir saya. Saya begitu banyak belajar tentang kehidupan dan cara
dalam memandang kehidupan. Masyarakat Jawa dalam memandang filosofi
nenek moyang mereka adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan sesuatu
yang harus di internalisaikan ke dalam diri dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Hipotesis saya selama ini yang menganggap uang
dan materi adalah sumber kebahagian serta merta tertolak oleh filosofi
tersebut. Kebahagian sejati adalah disaat uripe ayem rumongso aman
karena penerimaan akan kehendak Illahi Robbi sebagai tanda Iman dan
Keyakinan pada-Nya
Jadi teringat pesan terakhir Pak Tua penjual sepatu itu begitu
mendamaikan dan menentramkan hati..”le…nrimo ing pandum, Rezeki sudah
ada yang mengatur, Gusti Allah tidak pernah tidur, kalau kita mau pasti
ada jalan, yang penting bukan apa yang kita kerjakan tapi niat kita
bekerja adalah untuk bersyukur dan juga beribadah (dalam bahasa Jawa).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wahyu.sitepoe/belajar-filosofi-nrimo-dari-masyarakat-jawa_5510aa2c813311ae33bc6d30